Mr. Raden Achmad
Soebardjo Djojoadisoerjo (lahir di Karawang, Jawa Barat, 23 Maret 1896 –
meninggal 15 Desember 1978 pada umur 82 tahun) adalah tokoh pejuang kemerdekaan
Indonesia, diplomat, dan seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah Menteri
Luar Negeri Indonesia yang pertama. Achmad Soebardjo memiliki gelar Meester in
de Rechten, yang diperoleh di Universitas Leiden Belanda pada tahun 1933.
Awal mula
Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23 Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek Ahmad Soebardjo dari pihak ayah adalah ulama di wilayah tersebut, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Kerawang. Ibu Ahmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.
Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya nama Ahmad Subardjo. Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".
Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Achmad Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23 Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie. Kakek Ahmad Soebardjo dari pihak ayah adalah ulama di wilayah tersebut, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Kerawang. Ibu Ahmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.
Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya nama Ahmad Subardjo. Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".
Ia bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.
Riwayat
perjuangan
,Sebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia. Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Jawa dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dan pada tanggal 17 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali menjabat menjadi Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.
Dalam bidang pendidikan
,Sebardjo merupakan profesor dalam bidang Sejarah Perlembagaan dan Diplomasi Republik Indonesia di Fakultas Kesusasteraan, Universitas Indonesia. Semasa masih menjadi mahasiswa, Soebardjo aktif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia melalui beberapa organisasi seperti Jong Jawa dan Persatuan Mahasiswa Indonesia di Belanda. Pada bulan Februari 1927, ia pun menjadi wakil Indonesia bersama dengan Mohammad Hatta dan para ahli gerakan-gerakan Indonesia pada persidangan antarbangsa "Liga Menentang Imperialisme dan Penindasan Penjajah" yang pertama di Brussels dan kemudiannya di Jerman. Pada persidangan pertama itu juga ada Jawaharlal Nehru dan pemimpin-pemimpin nasionalis yang terkenal dari Asia dan Afrika. Sewaktu kembalinya ke Indonesia, ia aktif menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dan pada tanggal 17 Agustus 1945, Soebardjo dilantik sebagai Menteri Luar Negeri pada Kabinet Presidensial, kabinet Indonesia yang pertama, dan kembali menjabat menjadi Menteri Luar Negeri sekali lagi pada tahun 1951 - 1952. Selain itu, ia juga menjadi Duta Besar Republik Indonesia di Switzerland antara tahun-tahun 1957 - 1961.
Dalam bidang pendidikan
Anggota Kongres Anti Imperialisme 1927.
Pada bulan Februari tahun 1927 di Brussel diadakan Kongres Anti Imperialisme. Tindakan pemerintah kolonial terhadap aksi-aksi pembebasan sudah dianggap oleh masyarakat Anti Imperialisme dunia telah melebihi batas kemanusiaan dan keadilan. Kongres ini membahas bagaimana cara melawan kekuatan imperial dan kolonialisme. Pada bulan itu telah tiba di Brussel utusan dari 21 negara dari Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Para utusan mewakili pelbagai organisasi politik, ekonomi, buruh. Kongres ini berlangsung selama lima hari dari tanggal 5-10 Februari 1927. Dari daerah jajahan Inggris lahir Jawaharlal Nehru (India), Nafez Ramadan Bey (Mesir), Mashur Baqaf Sakri (Syria) dari jajahan Perancis hadir Chodli Ben Mustafa. Dari Hindia-Belanda mengurusi lima orang yaitu Muhammad Hatta (Ketua) dan empat orang anggotanya itu Semaun (tokoh PKI), Galat Tarunamihardja, Muhammad Nazir Datuk Paniontjak dan Ahmad Soebardjo dari Perhimpunan Indonesia. Hasil pokok dari kongres ini terbentuknya League Againts Imperialism and For National Independence (Liga Anti Imperialisme untuk Kemerdekaan Nasional) Kongres juga membentuk sekretariat tetap yang berkedudukan di Berlin. Pemerintah Belanda sangat tidak menyukai terlibatnya mahasiswa Indonesia di negeri Belanda dalam gerakan ini. Dengan sigapnya polisi Belanda menangkap ketua P.I. Mohammad Hatta dan tiga orang lainnya, Muhammad Nazir Datuk Pamontjak, Ali Satroamidjojo, Abdul Madjid Djojoadiningrat ditahan untuk diadili. Ahmad dan Arnold Mononutu terhindar dari penangkapan karena berada diluar negeri Belanda, Ia tengah melakukan muhibah Rusia dan Perancis.
Pada bulan Februari tahun 1927 di Brussel diadakan Kongres Anti Imperialisme. Tindakan pemerintah kolonial terhadap aksi-aksi pembebasan sudah dianggap oleh masyarakat Anti Imperialisme dunia telah melebihi batas kemanusiaan dan keadilan. Kongres ini membahas bagaimana cara melawan kekuatan imperial dan kolonialisme. Pada bulan itu telah tiba di Brussel utusan dari 21 negara dari Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Para utusan mewakili pelbagai organisasi politik, ekonomi, buruh. Kongres ini berlangsung selama lima hari dari tanggal 5-10 Februari 1927. Dari daerah jajahan Inggris lahir Jawaharlal Nehru (India), Nafez Ramadan Bey (Mesir), Mashur Baqaf Sakri (Syria) dari jajahan Perancis hadir Chodli Ben Mustafa. Dari Hindia-Belanda mengurusi lima orang yaitu Muhammad Hatta (Ketua) dan empat orang anggotanya itu Semaun (tokoh PKI), Galat Tarunamihardja, Muhammad Nazir Datuk Paniontjak dan Ahmad Soebardjo dari Perhimpunan Indonesia. Hasil pokok dari kongres ini terbentuknya League Againts Imperialism and For National Independence (Liga Anti Imperialisme untuk Kemerdekaan Nasional) Kongres juga membentuk sekretariat tetap yang berkedudukan di Berlin. Pemerintah Belanda sangat tidak menyukai terlibatnya mahasiswa Indonesia di negeri Belanda dalam gerakan ini. Dengan sigapnya polisi Belanda menangkap ketua P.I. Mohammad Hatta dan tiga orang lainnya, Muhammad Nazir Datuk Pamontjak, Ali Satroamidjojo, Abdul Madjid Djojoadiningrat ditahan untuk diadili. Ahmad dan Arnold Mononutu terhindar dari penangkapan karena berada diluar negeri Belanda, Ia tengah melakukan muhibah Rusia dan Perancis.
Kembali ke Tanah Air.
Setelah tujuh tahun belajar dan berjuang dalam organisasi P.I. di negeri Belanda, pada bulan April 1934 kembali ke tanah air. Pekerjaan apakah yang dipilih oleh Soebardjo setelah menamatkan studie hukum. Sebagai seorang yang pernah sebagai aktivitas Perhimpunan Indonesia (P.I.) hati nuraninya menolak bekerja pada pemerintah Hindia-Belanda, padahal lowongan untuk jabatan di pemerintahan sangat terbuka bagi seseorang yang berpendidikan tinggi. Akhirnya ia memilih bekerja swasta di Kantor Bantuan Hukum Mr. Sastro Muljono, seniornya di Semarang, banyak juga mantan anggota P.I. yang bekerja di pemerintahan, antara lain Dr. Buntaran Martoatmodjo dan Dr. Akhmad Mochtar dari Semarang Soebardjo pindah ke Surabaya juga dikantor Bantuan Hukum Mr. Iskaq (Tjokro Hadisoerjo). Pada tahun tiga puluhan itu Soebardjo menyaksikan surutnya perjuangan pergerakan nasional. Para tokohnya, Ir. Soekarno, Sartono, Muhammad Hatta saling berbeda pendapat mengenai strategi perjuangan sekalipun mereka mempunyai dasar yang sama: Non Kooperasi.
Partai Nasional Indonesia pecah menjadi tiga kelompok, kelompok pertama ingin tetap berjuang secara bawah tanah, yang mayoritas mantan anggota Serikat Rakyat dan PRI. Kelompok kedua dibawah pimpinan Mr. Sartono yang menekankan perjuangan melalui organisasi politik (dalam bentuk partai) adalah lebih efektif, mereka kemudian membangun Partai Indonesia (Partindo) yang moderat. Kelompok ketiga mendirikan partai baru Pendidikan Nasional Indonesia yang di mentori oleh Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir, Soebardjo datang menemui mereka secara pribadi, Ia menemui Soekarno, mendekati Sartono dan juga menemui Hatta. Pergerakan nasional lumpuh akibat dari kebijakan politik Gubernur Jenderal P.C. De Jonghe. Oleh karena itu Soebardjo bersikap wait and see tidak masuk kelompok manapun, namun pemerintah Hindia-Belanda tetap mencurigainya sebagai orang komunis. Ia merasa setiap gerak langkahnya diamati oleh Politicks Inlichtingen Drenst (P.I.D.) atau Dinas Penyelidik Politik dari Kepolisian Hindia Belanda. Peristiwa perintah meninggalkan Banjarmasin dari Asisten Residen, ketika ia membela perkara pembunuhan membenarkan dugaannya.
Setelah tujuh tahun belajar dan berjuang dalam organisasi P.I. di negeri Belanda, pada bulan April 1934 kembali ke tanah air. Pekerjaan apakah yang dipilih oleh Soebardjo setelah menamatkan studie hukum. Sebagai seorang yang pernah sebagai aktivitas Perhimpunan Indonesia (P.I.) hati nuraninya menolak bekerja pada pemerintah Hindia-Belanda, padahal lowongan untuk jabatan di pemerintahan sangat terbuka bagi seseorang yang berpendidikan tinggi. Akhirnya ia memilih bekerja swasta di Kantor Bantuan Hukum Mr. Sastro Muljono, seniornya di Semarang, banyak juga mantan anggota P.I. yang bekerja di pemerintahan, antara lain Dr. Buntaran Martoatmodjo dan Dr. Akhmad Mochtar dari Semarang Soebardjo pindah ke Surabaya juga dikantor Bantuan Hukum Mr. Iskaq (Tjokro Hadisoerjo). Pada tahun tiga puluhan itu Soebardjo menyaksikan surutnya perjuangan pergerakan nasional. Para tokohnya, Ir. Soekarno, Sartono, Muhammad Hatta saling berbeda pendapat mengenai strategi perjuangan sekalipun mereka mempunyai dasar yang sama: Non Kooperasi.
Partai Nasional Indonesia pecah menjadi tiga kelompok, kelompok pertama ingin tetap berjuang secara bawah tanah, yang mayoritas mantan anggota Serikat Rakyat dan PRI. Kelompok kedua dibawah pimpinan Mr. Sartono yang menekankan perjuangan melalui organisasi politik (dalam bentuk partai) adalah lebih efektif, mereka kemudian membangun Partai Indonesia (Partindo) yang moderat. Kelompok ketiga mendirikan partai baru Pendidikan Nasional Indonesia yang di mentori oleh Muhammad Hatta dan Sutan Sjahrir, Soebardjo datang menemui mereka secara pribadi, Ia menemui Soekarno, mendekati Sartono dan juga menemui Hatta. Pergerakan nasional lumpuh akibat dari kebijakan politik Gubernur Jenderal P.C. De Jonghe. Oleh karena itu Soebardjo bersikap wait and see tidak masuk kelompok manapun, namun pemerintah Hindia-Belanda tetap mencurigainya sebagai orang komunis. Ia merasa setiap gerak langkahnya diamati oleh Politicks Inlichtingen Drenst (P.I.D.) atau Dinas Penyelidik Politik dari Kepolisian Hindia Belanda. Peristiwa perintah meninggalkan Banjarmasin dari Asisten Residen, ketika ia membela perkara pembunuhan membenarkan dugaannya.
Pada tahun 1935 Soebardjo meninggalkan
kantor pengacara Mr. Iskaq, pindah ke Malang mendirikan kantor pengacara
sendiri dan menjauhkan diri dari aktivitas politik. Kantor Pengacara Soebardjo
di Malang tidak sukses, karena kalah bersaing dengan kantor-kantor Pengacara
yang dibuka lebih dulu. Soebardjo jatuh sakit dirawat di Rumah Sakit Soekoen.
Belum pulih benar dari sakitnya Soebardjo menerima surat dari Mr. Soedjono yang
tinggal di Tokyo, Soedjono meminta agar Soebardjo berkunjung ke Jepang karena
berbagai tekanan keadaan, Soebardjo yang merasa terjepit, surat Soedjono
dianggap sebagai berkah, untuk bisa melepaskan diri dari stress, tekanan
keadaan dan kejiwaan. Harapannya adalah untuk memperoleh ongkos hidup yang
layak di negara asing itu, namun kendalanya ia tidak mempunyai simpanan yang
cukup untuk hidup, sebelum ia memperoleh pekerjaan. Bekerja sebagai apa dan
dimana, itulah pertanyaan yang selalu terbesit dalam batin Soebardjo. Akhirnya
pada bulan September 1935, ia berangkat ke Jepang bersama dengan keluarga
kakaknya yang mengantar dua putrinya Herawati dan Saptarita untuk bersekolah di
Jepang. Tiba di Tokyo Ia terkesan atas kemajuan Jepang, gedung-gedung pencakar
langit telah berdiri dengan megahnya. Dengan perantaraan Mr. Soedjono,
Soebardjo diperkenalkan dengan para cendekiawan Jepang. Melalui ceramah-ceramah
umrah di Nihon Bunka Renmei dan Society for International Cultural Relations
dia memperoleh penghasilan. Ada yang lebih mengesankan, sejumlah cendekiawan
Jepang mampu berbahasa Belanda, Inggris, Jerman secara baik. Koleksi
perpustakaannya sangat lengkap, hampir semua buku dan artikel tentang Hindia
Belanda tersedia dalam koleksi.
Penelitian tentang Hindia-Belanda
rupanya sangat intensif bahkan sampai nama-nama Kepala Distrik, hal ini
diketahuinya tatkala tentara Jepang baru memasuki Indonesia. Pemikiran dan
konsep-konsep tradisi digali dan dikembangkan. Sikap anti barat orang Jepang
sangat kuat. Japanese Society of Cultural Relations menjadi perantara untuk
mengundang sejumlah orang-orang penting Hindia-Belanda seperti Dr. Soetomo, Soekardjo
Wirjopranoto, Pangeran Suyono Hendraningrat dan beberapa tokoh lagi. Setelah
satu tahun tinggal di Jepang sejak bulan September 1935, pada Bulan September
1936 kembali ke Tanah Air Soebardjo memilih Kota Bandung sebagai tempat
tinggalnya yang baru, bekerja secara penuh sebagai pengacara, meninggalkan
semua kegiatan Politik, namun ia masih merasa tidak lepas dari pengawasan
P.I.D. mengingat ia pernah tinggal setahun di Jepang. Pada pertengahan tahun
30-an ini hubungan Jepang Hindia-Belanda bertambah memburuk. Peristiwa berulang
Soebardjo mengajukan protes kepada asisten Residen. Para polisi penyelidik ini
dianggap menghalangi seseorang mencari kehidupan, asisten residen minta maaf
selama satu tahun di Bandung Soebardjo telah mempunyai penghasilan yang stabil.
Kegemarannya menulis bangkit kembali ia bertemu dengan wartawan senior yang
berhaluan sosialis Mr. D. M. G. Koch, selain wartawan ia juga penulis buku Om
de Vujhed (Menuju Kemerdekaan). Buku ini berisi tentang sejarah perjuangan
pergerakan Nasional Bangsa Indonesia. Hubungannya dengan Mr. D.M.G. Koch
mengantarkan Soebardjo untuk menulis kembali sejumlah artikel dalam Kritiek en
Opbouw (Kritik dan Pembangunan). Setelah tiga tahun tinggal di Bandung
Soebardjo meninggalkan pekerjaan sebagai Pengacara, bekerja pada ”Radio
Ketimuran”, sebagai penyusun program (Progammer) masalah-masalah
sosial-kebudayaan disamping tugas pokoknya Soebardjo kembali melakukan
aktivitas jurnalistik. Situasi politik menjadi tidak kondusif. Perang telah
pecah di Eropa, negeri Belanda diduduki oleh Jerman pada bulan Mei 1940, Ratu
dan Pemerintah Belanda mengungsi ke London, pada saat itu Soebardjo masih
bekerja di Radio Ketimuran, salah satu seksi dari Nederlandsch Indische Radio
Omraf Maatschappij (NIROM). Pemerintah Hindia Belanda membentuk kesatuan
pertahanan udara atau Lucht Bescherminof Drenst, untuk melindungi kota dari
serangan udara.
Rengasdengklok
Pada hari ini pukul 08.00, Soebardjo menerima laporan dari sekretarisnya Embah Soediro, bahwa Soekarno dan Hatta diculik oleh para pemuda dan tidak tahu dibawa kemana, menambahkan, setelah para pemuda mengadakan rapat dikantor Soebardjo dan Wikana ada diantara mereka. Soebardjo kaget, peristiwa ini dinilai gawat, karena pada pukul 10.00 akan diselenggarakan rapat PPKI. Tanpa ketua dan wakil ketua tidak mungkin rapat terselenggara. Ia menduga bahwa Wikana mengetahui keberadaan Soekarno-Hatta. Soebardjo berpikir lebih jauh, bahwa ia harus menghubungi pimpinan Angkatan Laut Jepang dalam usaha pencarian Soekarno dan Hatta. Soebardjo khawatir kedua pemimpin ini ditangkap oleh angkatan darat. Hanya angkatan laut yang bisa menolong membebaskannya. Kemudian seorang anggota stafnya Soediro memberi tahu angkatan laut. Nishijima menerima laporan Soediro. Soebardjo sendiri kemudian datang secara pribadi kepada Laksamana Maeda, belum sempat terucap salam Maeda mendahului bertanya, “Kenapa tuan datang sendiri dan tidak dengan tuan Soekarno dan Hatta? Saya berjanji kepada tuan-tuan kemarin untuk menyampaikan bentuk resmi tentang penyerahan kami!, Soebardjo menjawab ”kami datang untuk memberi tahu tuan, tutup halangannya mereka dari kota” Maeda terkejut, tidak berkata apa-apa lalu termenung!.
Dari rumah Maeda, Soebardjo bergegas menuju kantornya di Jalan Prapatan. Kantor Daisanka memang tempat yang aman bagi rapat-rapat yang membahas masalah-masalah sosial maupun aktivitas politik. Soebardjo kemudian memerintahkan sekretarisnya, agar memanggil Wikana, terjadi dialog, “Apa yang telah kamu perbuat terhadap Soekarno dan hatta?” Tanya Soebardjo. “Itu keputusan kami dalam pertemuan semalam untuk keselamatan mereka. Mereka kami bawa ke suatu tempat di luar Jakarta” jawab Wikana. Apakah akibat dari tindakan tersebut sudah kamu putuskan? Tanya Soebardjo. ”Keputusan itu bukan keputusan pribadi saya, tetapi merupakan keputusan semua golongan pemuda, tugas saya membujuk Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan pada malam kemarin.” Jawab Wikana. Soebardjo menasehati Wikana agar tidak merahasiakan keberadaan Soekarno-Hatta. Wikana tidak menjawab, kemudian pergi. Ia kembali bersama Pandu Kartawiguna, maksudnya untuk menegaskan pendiriannya, menolak memberitahu dimana Soekarno-Hatta disembunyikan. Jawaban Pandu kepada Soebardjo tidak berbeda kepada Wikana. Sekali lagi Soebardjo menasehati Pandu, bahwa proklamasi Kemerdekaan harus dilakukan dengan damai, yang akibatnya merugikan perjuangan kita. Wikana dan Pandu keluar dari ruangan Soebardjo. Pada sekitar pukul 14.30, Nishijima, Shigetada datang dan rupanya sudah berbicara dengan Wikana, bahwa Angkatan Laut akan mendukung Proklamasi Kemerdekaan.
Beberapa saat kemudian Wikana, Pandu, dan seorang anggota Tentara Peta, Jusuf Kunto datang meyakinkan Soebardjo bahwa tindakan itu bermaksud menyelamatkan Soekarno dan Hatta. Soebardjo menyatakan kepada mereka, “Jika atas dasar keselamatan saudara membawa Soekarno dan Hatta keluar kota, saudara tidak usah khawatir keselamatan mereka jika mereka kembali ke sini. Karena saya percaya bahwa Angkatan Laut akan memberikan dukungan andaikata mereka mendapat kesulitan dari Angkatan Darat. Tolonglah beritahu saya, dimana mereka berdua disembunyikan. Saya akan mengantarkan mereka kembali ke Jakarta, sehingga dapat memulai Proklamasi Kemerdekaan. Saya sepenuhnya bertanggung jawab atas usaha ini. Pandu kemudian menyatakan bahwa Soebardjo tidak bisa pergi sendiri karena terlalu berbahaya dan melarang menemui Soekarno-Hatta tanpa ditemani orang yang mereka kenal. Jusuf Kunto yang ditunjuk untuk menemui Soebardjo. Sementara Nishijima yang berada diluar ruangan mengkhawatirkan keselamatan Soebardjo. Ia menawarkan diri untuk mendampingi Soebardjo, namun ditolaknya secara halus.
Pada kira-kira pukul 16.00, dengan mobil Skoda Soebardjo, Jusuf Kunto, Soediro kearah Jatinegara terus kearah Timur. Sepanjang perjalanan mereka diam, berhenti dibeberapa pos yang dijaga oleh Tentara PETA. Tiba di pinggiran Kota Karawang, Kunto memerintahkan pengemudi membelok kearah Rengasdengklok, Kota Kawedanan di Pantai Utara. Tiba pada waktu Maghrib, istirahat dirumah Wedana. Jusuf Kunto mohon diri meninggalkan Soebardjo, melapor kepada Soekarni. Dengan mengenakan seragam PETA, Soekarni datang menemui Soebardjo. Terjadi dialog singkat, Soekarni menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan bukan prakarsa pribadi tetapi memenuhi tugas revolusi. Soebardjo dan Soedira mengikuti Soekarni dan Kunto dihadapkan Komandan PETA Rengasdengklok, Cundonco Subeno. Untuk meyakinkan niat dan itikad kedatangan Soebardjo ke Rengasdengklok bukan untuk kepentingan Jepang. Soebardjo di interogasi dengan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan pertamanya adalah apa maksud kedatangannya di Rengasdengklok. Beberapa pertanyaan mendasar yang diingat Soebardjo antara lain: “Bisakah saudara mengatakan kepada kami Bahwa Jepang sudah menyerah? Apakah saudara datang atas nama Kaigan? Apakah saudara bisa memproklamasikan kemerdekaan sebelum tengah malam? Untuk meyakinkan Komandan, Soebardjo menjaminkan dirinya untuk siap ditembak. Seusai acara interogasi ini Soebardjo diantar ke sebuah rumah dipertemukan dengan Soekarno. Hatta disembunyikan di tempat lain. Tatkala melihat Soebardjo, Soekarno terperanjat langsung bertanya apakah Jepang sudah menyerah? Soebardjo memberitahu bahwa ia mendapat informasi penting ini dari Laksamana Maeda. Kemudian diputuskan untuk segera kembali di Jakarta. Dengan tiga buah mobil mereka meninggalkan Rengasdengklok kembali ke Jakarta pada pukul 21.00. Perjalanan kembali ke Jakarta dipenuhi rasa was-was, khawatir disergap oleh tentara Jepang. Tiba dirumah Soekarno pada pukul 21.00 dilanjutkan ke rumah Hatta. Sesudah istirahat beberapa saat, Soekarno, Hatta dan Soebardjo tiba di rumah Maeda. Setelah bertegur sapa sebentar, Soekarno menyampaikan terima kasih atas penerimaannya dan kesediaan rumahnya sebagai tempat pertemuan.
Pada hari ini pukul 08.00, Soebardjo menerima laporan dari sekretarisnya Embah Soediro, bahwa Soekarno dan Hatta diculik oleh para pemuda dan tidak tahu dibawa kemana, menambahkan, setelah para pemuda mengadakan rapat dikantor Soebardjo dan Wikana ada diantara mereka. Soebardjo kaget, peristiwa ini dinilai gawat, karena pada pukul 10.00 akan diselenggarakan rapat PPKI. Tanpa ketua dan wakil ketua tidak mungkin rapat terselenggara. Ia menduga bahwa Wikana mengetahui keberadaan Soekarno-Hatta. Soebardjo berpikir lebih jauh, bahwa ia harus menghubungi pimpinan Angkatan Laut Jepang dalam usaha pencarian Soekarno dan Hatta. Soebardjo khawatir kedua pemimpin ini ditangkap oleh angkatan darat. Hanya angkatan laut yang bisa menolong membebaskannya. Kemudian seorang anggota stafnya Soediro memberi tahu angkatan laut. Nishijima menerima laporan Soediro. Soebardjo sendiri kemudian datang secara pribadi kepada Laksamana Maeda, belum sempat terucap salam Maeda mendahului bertanya, “Kenapa tuan datang sendiri dan tidak dengan tuan Soekarno dan Hatta? Saya berjanji kepada tuan-tuan kemarin untuk menyampaikan bentuk resmi tentang penyerahan kami!, Soebardjo menjawab ”kami datang untuk memberi tahu tuan, tutup halangannya mereka dari kota” Maeda terkejut, tidak berkata apa-apa lalu termenung!.
Dari rumah Maeda, Soebardjo bergegas menuju kantornya di Jalan Prapatan. Kantor Daisanka memang tempat yang aman bagi rapat-rapat yang membahas masalah-masalah sosial maupun aktivitas politik. Soebardjo kemudian memerintahkan sekretarisnya, agar memanggil Wikana, terjadi dialog, “Apa yang telah kamu perbuat terhadap Soekarno dan hatta?” Tanya Soebardjo. “Itu keputusan kami dalam pertemuan semalam untuk keselamatan mereka. Mereka kami bawa ke suatu tempat di luar Jakarta” jawab Wikana. Apakah akibat dari tindakan tersebut sudah kamu putuskan? Tanya Soebardjo. ”Keputusan itu bukan keputusan pribadi saya, tetapi merupakan keputusan semua golongan pemuda, tugas saya membujuk Soekarno untuk memproklamasikan kemerdekaan pada malam kemarin.” Jawab Wikana. Soebardjo menasehati Wikana agar tidak merahasiakan keberadaan Soekarno-Hatta. Wikana tidak menjawab, kemudian pergi. Ia kembali bersama Pandu Kartawiguna, maksudnya untuk menegaskan pendiriannya, menolak memberitahu dimana Soekarno-Hatta disembunyikan. Jawaban Pandu kepada Soebardjo tidak berbeda kepada Wikana. Sekali lagi Soebardjo menasehati Pandu, bahwa proklamasi Kemerdekaan harus dilakukan dengan damai, yang akibatnya merugikan perjuangan kita. Wikana dan Pandu keluar dari ruangan Soebardjo. Pada sekitar pukul 14.30, Nishijima, Shigetada datang dan rupanya sudah berbicara dengan Wikana, bahwa Angkatan Laut akan mendukung Proklamasi Kemerdekaan.
Beberapa saat kemudian Wikana, Pandu, dan seorang anggota Tentara Peta, Jusuf Kunto datang meyakinkan Soebardjo bahwa tindakan itu bermaksud menyelamatkan Soekarno dan Hatta. Soebardjo menyatakan kepada mereka, “Jika atas dasar keselamatan saudara membawa Soekarno dan Hatta keluar kota, saudara tidak usah khawatir keselamatan mereka jika mereka kembali ke sini. Karena saya percaya bahwa Angkatan Laut akan memberikan dukungan andaikata mereka mendapat kesulitan dari Angkatan Darat. Tolonglah beritahu saya, dimana mereka berdua disembunyikan. Saya akan mengantarkan mereka kembali ke Jakarta, sehingga dapat memulai Proklamasi Kemerdekaan. Saya sepenuhnya bertanggung jawab atas usaha ini. Pandu kemudian menyatakan bahwa Soebardjo tidak bisa pergi sendiri karena terlalu berbahaya dan melarang menemui Soekarno-Hatta tanpa ditemani orang yang mereka kenal. Jusuf Kunto yang ditunjuk untuk menemui Soebardjo. Sementara Nishijima yang berada diluar ruangan mengkhawatirkan keselamatan Soebardjo. Ia menawarkan diri untuk mendampingi Soebardjo, namun ditolaknya secara halus.
Pada kira-kira pukul 16.00, dengan mobil Skoda Soebardjo, Jusuf Kunto, Soediro kearah Jatinegara terus kearah Timur. Sepanjang perjalanan mereka diam, berhenti dibeberapa pos yang dijaga oleh Tentara PETA. Tiba di pinggiran Kota Karawang, Kunto memerintahkan pengemudi membelok kearah Rengasdengklok, Kota Kawedanan di Pantai Utara. Tiba pada waktu Maghrib, istirahat dirumah Wedana. Jusuf Kunto mohon diri meninggalkan Soebardjo, melapor kepada Soekarni. Dengan mengenakan seragam PETA, Soekarni datang menemui Soebardjo. Terjadi dialog singkat, Soekarni menyatakan bahwa tindakan yang dilakukan bukan prakarsa pribadi tetapi memenuhi tugas revolusi. Soebardjo dan Soedira mengikuti Soekarni dan Kunto dihadapkan Komandan PETA Rengasdengklok, Cundonco Subeno. Untuk meyakinkan niat dan itikad kedatangan Soebardjo ke Rengasdengklok bukan untuk kepentingan Jepang. Soebardjo di interogasi dengan sejumlah pertanyaan. Pertanyaan pertamanya adalah apa maksud kedatangannya di Rengasdengklok. Beberapa pertanyaan mendasar yang diingat Soebardjo antara lain: “Bisakah saudara mengatakan kepada kami Bahwa Jepang sudah menyerah? Apakah saudara datang atas nama Kaigan? Apakah saudara bisa memproklamasikan kemerdekaan sebelum tengah malam? Untuk meyakinkan Komandan, Soebardjo menjaminkan dirinya untuk siap ditembak. Seusai acara interogasi ini Soebardjo diantar ke sebuah rumah dipertemukan dengan Soekarno. Hatta disembunyikan di tempat lain. Tatkala melihat Soebardjo, Soekarno terperanjat langsung bertanya apakah Jepang sudah menyerah? Soebardjo memberitahu bahwa ia mendapat informasi penting ini dari Laksamana Maeda. Kemudian diputuskan untuk segera kembali di Jakarta. Dengan tiga buah mobil mereka meninggalkan Rengasdengklok kembali ke Jakarta pada pukul 21.00. Perjalanan kembali ke Jakarta dipenuhi rasa was-was, khawatir disergap oleh tentara Jepang. Tiba dirumah Soekarno pada pukul 21.00 dilanjutkan ke rumah Hatta. Sesudah istirahat beberapa saat, Soekarno, Hatta dan Soebardjo tiba di rumah Maeda. Setelah bertegur sapa sebentar, Soekarno menyampaikan terima kasih atas penerimaannya dan kesediaan rumahnya sebagai tempat pertemuan.
Mempersiapkan Proklamasi
Di rumah Maeda ternyata sudah banyak orang berkumpul sebelum rombongan dari Rengasdengklok memasuki rumah ini. Soekarno dan Hatta bersama Maeda meninggalkan rumah. Tidak lama kemudian muncul Dr. Buntaran Martoatmodjo, sayuti Melik dan Iwa Kusuma Sumantri. Sukarni bersama rombongannya tiba kembali di rumah Maeda pada pukul 01.00. Ia mengajak Soebardjo dan Iwa Kusuma Sumantri untuk menemui Sjarir di sebuah rumah di Jalan Bogor Lama (Jl. Minangkabau). Ternyata Sjahrir tidak ada di tempat. Soebardjo bertemu dengan beberapa Pemuda, Chairul Soleh, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Maruto Nitimihardjo. Karena tidak ketemu, mereka bertiga kembali ke rumah Maeda. Soekarno, Hatta, dan Maeda belum kembali kerumah, beberapa orang anggota PPKI telah hadir. Pada kurang lebih pukul 02.00, Soekarno, Hatta dan Maeda tiba kembali bersama Kolonel Miyoshi, Perwira penghubung Angkatan Darat yang mantan Diplomat, kemudian mereka berunding. Soekarno, Hatta, Miyoshi, Soebardjo, Maeda, Nishijima menghadap meja bundar, di belakangnya duduk Soediro, Soekarni, dan B.M. Diah, baru kemudian Soebardjo memperoleh informasi dari Hatta bahwa mereka datang ke Gunseikon (Kepala Pemerintah Jepang) Mayor Jenderal Yamamoto Moichiro, dan Mayor Jenderal Nishimura, Otoshi, samubuco (Kepala Bagian Pemerintahan Umum) tanpa hasil. Nishimura berpegang teguh pada prinsip status quo. Tidak ada boleh kegiatan politik sesudah tanggal 15 Agustus 1945.
Dari pertemuan meja bundar di rumah Maeda ini diputuskan bahwa proklamasi kemerdekaan akan tetap dilaksanakan tanpa persetujuan Angkatan Darat Jepang. Kemudian Maeda, Nishijima, dan Miyoshi tempat. Ketika Soekarno, Hatta, Soebardjo akan menyusun redaksi (teks) Proklamasi, “Masih ingatkah saudara teks dari bab Pembukaan UUD kita?” Tanya Soekarno kepada Soebardjo. “Ya, saya ingat tetapi tidak lengkap.” Jawab Soebardjo. “Tidak apa, kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut Proklamasi, bukan seluruh teksnya.” Kata Soekarno. Soekarno mengambil secarik kertas, menulis sesuai dengan yang saya (Soebardjo) ucapkan. “Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan”. Soekarno kemudian menambahkan :”Hal-hal yang mengenai pemindahan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara yang secermat-cermatnya serta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Menurut Soebardjo inilah teks awal, rupanya Soekarno tidak menuliskan rakyat, tetapi Bangsa. Mula-mula Soekarni yang diminta untuk mengetiknya, Ia kemudian pergi ke dekat Dapur. Sayuti Melik dan beberapa orang lain sedang duduk-duduk. Dia diminta oleh Soekarni untuk mengetiknya yang kebetulan di ruangan itu ada sebuah mesin ketik. Seusai diketik teks ketikan diserahkan kepada Soekarni selanjutnya diserahkan kepada Soebardjo, Kemudian diterima oleh Soekarno. Seusai pengetikan teks para hadirin yang terdiri atas anggota PPKI dan pemuda menuju ke ruang besar, bagian depan antara lain Dr. Radjiman, Prof. Supomo, Dr. Ratulangi, Mr. Latuharhary, Dr. Buntaran, Iwa Kusuma Sumantri. Di antara para pemuda, B.M. Diah, Adam Malik, Mando Nitimhardjo, Pandu Kartawiguna. Soekarno didampingi oleh Hatta membacakan Teks Proklamasi. Soekarni yang telah membaca sebelumnya mengkritik sebagai teks lepas dari semangat revolusioner, lemah, tidak mempunyai kepercayaan diri, ia tidak setuju dengan kalimat kedua, karena ia tidak percaya bahwa Jepang akan menyerahkan kekuasaannya kepada kita dengan cara sukarela kita harus merebutnya dari tangan mereka, terjadi perdebatan setelah penilaian Soekarni. Para anggota PPKI menentang perubahan teks. Soekarno menawarkan siapa yang membubuhkan tandatangannya pada teks, mereka sepakat yang menandatangani teks Soekano dan Hatta, diusulkan dibacakan di lapangan Ikada. Soekarno menolak pembacaan teks Proklamasi akan dilakukan di rumahnya Jl. Pegangsaan Timur No. 56 pada pukul 10.00. Subardjo merasa bahwa tugasnya telah selesai, setelah saling bersalaman mereka meninggalkan rumah Maeda pada kira-kira pukul 06.00. pada pagihari itu menjelang pukul 10.00 dua utusan Soekarno datang menjemput, karena terlalu capek Soebardjo memutuskan untuk melanjutkan istirahatnya, setelah dua hari diliputi suasana tegang. Ia tidak hadir dalam upacara tatkala Soekarno yang didampingi Hatta mengucapkan Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945.
Di rumah Maeda ternyata sudah banyak orang berkumpul sebelum rombongan dari Rengasdengklok memasuki rumah ini. Soekarno dan Hatta bersama Maeda meninggalkan rumah. Tidak lama kemudian muncul Dr. Buntaran Martoatmodjo, sayuti Melik dan Iwa Kusuma Sumantri. Sukarni bersama rombongannya tiba kembali di rumah Maeda pada pukul 01.00. Ia mengajak Soebardjo dan Iwa Kusuma Sumantri untuk menemui Sjarir di sebuah rumah di Jalan Bogor Lama (Jl. Minangkabau). Ternyata Sjahrir tidak ada di tempat. Soebardjo bertemu dengan beberapa Pemuda, Chairul Soleh, Adam Malik, Pandu Kartawiguna, Maruto Nitimihardjo. Karena tidak ketemu, mereka bertiga kembali ke rumah Maeda. Soekarno, Hatta, dan Maeda belum kembali kerumah, beberapa orang anggota PPKI telah hadir. Pada kurang lebih pukul 02.00, Soekarno, Hatta dan Maeda tiba kembali bersama Kolonel Miyoshi, Perwira penghubung Angkatan Darat yang mantan Diplomat, kemudian mereka berunding. Soekarno, Hatta, Miyoshi, Soebardjo, Maeda, Nishijima menghadap meja bundar, di belakangnya duduk Soediro, Soekarni, dan B.M. Diah, baru kemudian Soebardjo memperoleh informasi dari Hatta bahwa mereka datang ke Gunseikon (Kepala Pemerintah Jepang) Mayor Jenderal Yamamoto Moichiro, dan Mayor Jenderal Nishimura, Otoshi, samubuco (Kepala Bagian Pemerintahan Umum) tanpa hasil. Nishimura berpegang teguh pada prinsip status quo. Tidak ada boleh kegiatan politik sesudah tanggal 15 Agustus 1945.
Dari pertemuan meja bundar di rumah Maeda ini diputuskan bahwa proklamasi kemerdekaan akan tetap dilaksanakan tanpa persetujuan Angkatan Darat Jepang. Kemudian Maeda, Nishijima, dan Miyoshi tempat. Ketika Soekarno, Hatta, Soebardjo akan menyusun redaksi (teks) Proklamasi, “Masih ingatkah saudara teks dari bab Pembukaan UUD kita?” Tanya Soekarno kepada Soebardjo. “Ya, saya ingat tetapi tidak lengkap.” Jawab Soebardjo. “Tidak apa, kita hanya memerlukan kalimat-kalimat yang menyangkut Proklamasi, bukan seluruh teksnya.” Kata Soekarno. Soekarno mengambil secarik kertas, menulis sesuai dengan yang saya (Soebardjo) ucapkan. “Kami rakyat Indonesia dengan ini menyatakan Kemerdekaan”. Soekarno kemudian menambahkan :”Hal-hal yang mengenai pemindahan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara yang secermat-cermatnya serta dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Menurut Soebardjo inilah teks awal, rupanya Soekarno tidak menuliskan rakyat, tetapi Bangsa. Mula-mula Soekarni yang diminta untuk mengetiknya, Ia kemudian pergi ke dekat Dapur. Sayuti Melik dan beberapa orang lain sedang duduk-duduk. Dia diminta oleh Soekarni untuk mengetiknya yang kebetulan di ruangan itu ada sebuah mesin ketik. Seusai diketik teks ketikan diserahkan kepada Soekarni selanjutnya diserahkan kepada Soebardjo, Kemudian diterima oleh Soekarno. Seusai pengetikan teks para hadirin yang terdiri atas anggota PPKI dan pemuda menuju ke ruang besar, bagian depan antara lain Dr. Radjiman, Prof. Supomo, Dr. Ratulangi, Mr. Latuharhary, Dr. Buntaran, Iwa Kusuma Sumantri. Di antara para pemuda, B.M. Diah, Adam Malik, Mando Nitimhardjo, Pandu Kartawiguna. Soekarno didampingi oleh Hatta membacakan Teks Proklamasi. Soekarni yang telah membaca sebelumnya mengkritik sebagai teks lepas dari semangat revolusioner, lemah, tidak mempunyai kepercayaan diri, ia tidak setuju dengan kalimat kedua, karena ia tidak percaya bahwa Jepang akan menyerahkan kekuasaannya kepada kita dengan cara sukarela kita harus merebutnya dari tangan mereka, terjadi perdebatan setelah penilaian Soekarni. Para anggota PPKI menentang perubahan teks. Soekarno menawarkan siapa yang membubuhkan tandatangannya pada teks, mereka sepakat yang menandatangani teks Soekano dan Hatta, diusulkan dibacakan di lapangan Ikada. Soekarno menolak pembacaan teks Proklamasi akan dilakukan di rumahnya Jl. Pegangsaan Timur No. 56 pada pukul 10.00. Subardjo merasa bahwa tugasnya telah selesai, setelah saling bersalaman mereka meninggalkan rumah Maeda pada kira-kira pukul 06.00. pada pagihari itu menjelang pukul 10.00 dua utusan Soekarno datang menjemput, karena terlalu capek Soebardjo memutuskan untuk melanjutkan istirahatnya, setelah dua hari diliputi suasana tegang. Ia tidak hadir dalam upacara tatkala Soekarno yang didampingi Hatta mengucapkan Proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia 17 Agustus 1945.
Menjadi Menteri Luar Negeri
Hari-hari sesudah Proklamasi diliputi kesibukkan yang luar biasa pada tanggal 18 Agustus 1945, para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia berkumpul di Pejombon, mereka mewakili rakyat Indonesia mengesahkan Undang-undang yang telah diselesaikan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, memilih Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada hari berikutnya PPKI bersidang kembali, Presiden Soekarno menunjuk Soebardjo sebagai ketua panitia kecil, yang beranggota 2 (dua) orang Soebardjo Kartohadikusumo, Alex Andries Maramis . Tugas panitia kecil adalah merumuskan organisasi pemerintah pusat. Hasil rumusan itu panitia kecil menyampaikan saran agar pemerintah pusat dibagi atas 10 Departemen, setelah dibahas pada sidang Pleno diterima oleh Presiden. Soebardjo pada sidang itu mengusulkan tambahan enam orang Menteri Negara, berhubung Negara dalam situasi Revolusioner. Tugas Menteri Negara bersifat khusus, dapat bergerak cepat apabila ada situasi darurat, mereka dapat diutus oleh pemerintah pusat ke daerah-daerah, usul ini diterima oleh presiden, namun yang diangkat hanya lima orang, setelah sidang presiden membentuk kabinet. Pemerintah RI yang pertama ini terdiri atas 18 Menteri, 13 Menteri pemimpin departemen dan 5 Menteri Negara. Soebardjo ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri. Tugas pertama Menteri Luar Negeri adalah membangun kementerian, karena sebelumnya tidak ada seorang Indonesia pun pernah bekerja di Kementerian ini. Gedung Kementerian harus dicari, rumah tempat tinggal pribadi keluarga Soebardjo dijadikan Kantor Kementerian, tidak ada pilihan lain. Selanjutnya adalah merumuskan dasar-dasar politik luar negeri suatu negara yang merdeka dan berdaulat. Soebardjo mengantisipasi akan hadirnya tentara sekutu di Indonesia. Oleh karena itu baik presiden, wakil presiden, dan menteri luar negeri terus menerus berkampanye bahwa Republik Indonesia adalah Negara demokrasi dan mentaati semua hukum hubungan Internasional. Atlantic Charter, Diagram PBB diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia disebarkan ke seluruh jajaran pemerintah. Tujuan utama adalah bagaimana lahirnya dan eksistensi Negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh dunia Internasional. Kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda sudah berakhir sejak bulan Maret 1942 dan pemerintah militer Jepang berakhir pada tanggal 15 Agustus 1945. Di samping pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia, Bangsa Indonesia telah bertekad mempertahankan Kemerdekaan dan Kehormatannya dengan cara apapun. Tekad bangsa ini berhasil, tatkala tentara sekutu akan masuk ke Indonesia untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan protokol Dotsdam, terlebih dulu mengakui secara de facto Negara Republik Indonesia dan memberitahu Kementerian Luar Negeri rencana kedatangannya. Peristiwa bias dianggap sebagai sukses pertama dari kampanye Kementerian Luar Negeri.
Hari-hari sesudah Proklamasi diliputi kesibukkan yang luar biasa pada tanggal 18 Agustus 1945, para anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia berkumpul di Pejombon, mereka mewakili rakyat Indonesia mengesahkan Undang-undang yang telah diselesaikan oleh Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan, memilih Soekarno sebagai Presiden dan Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Pada hari berikutnya PPKI bersidang kembali, Presiden Soekarno menunjuk Soebardjo sebagai ketua panitia kecil, yang beranggota 2 (dua) orang Soebardjo Kartohadikusumo, Alex Andries Maramis . Tugas panitia kecil adalah merumuskan organisasi pemerintah pusat. Hasil rumusan itu panitia kecil menyampaikan saran agar pemerintah pusat dibagi atas 10 Departemen, setelah dibahas pada sidang Pleno diterima oleh Presiden. Soebardjo pada sidang itu mengusulkan tambahan enam orang Menteri Negara, berhubung Negara dalam situasi Revolusioner. Tugas Menteri Negara bersifat khusus, dapat bergerak cepat apabila ada situasi darurat, mereka dapat diutus oleh pemerintah pusat ke daerah-daerah, usul ini diterima oleh presiden, namun yang diangkat hanya lima orang, setelah sidang presiden membentuk kabinet. Pemerintah RI yang pertama ini terdiri atas 18 Menteri, 13 Menteri pemimpin departemen dan 5 Menteri Negara. Soebardjo ditunjuk sebagai Menteri Luar Negeri. Tugas pertama Menteri Luar Negeri adalah membangun kementerian, karena sebelumnya tidak ada seorang Indonesia pun pernah bekerja di Kementerian ini. Gedung Kementerian harus dicari, rumah tempat tinggal pribadi keluarga Soebardjo dijadikan Kantor Kementerian, tidak ada pilihan lain. Selanjutnya adalah merumuskan dasar-dasar politik luar negeri suatu negara yang merdeka dan berdaulat. Soebardjo mengantisipasi akan hadirnya tentara sekutu di Indonesia. Oleh karena itu baik presiden, wakil presiden, dan menteri luar negeri terus menerus berkampanye bahwa Republik Indonesia adalah Negara demokrasi dan mentaati semua hukum hubungan Internasional. Atlantic Charter, Diagram PBB diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia disebarkan ke seluruh jajaran pemerintah. Tujuan utama adalah bagaimana lahirnya dan eksistensi Negara Republik Indonesia diakui kedaulatannya oleh dunia Internasional. Kedaulatan pemerintah Hindia-Belanda sudah berakhir sejak bulan Maret 1942 dan pemerintah militer Jepang berakhir pada tanggal 15 Agustus 1945. Di samping pengakuan kedaulatan negara Republik Indonesia, Bangsa Indonesia telah bertekad mempertahankan Kemerdekaan dan Kehormatannya dengan cara apapun. Tekad bangsa ini berhasil, tatkala tentara sekutu akan masuk ke Indonesia untuk melaksanakan tugasnya berdasarkan protokol Dotsdam, terlebih dulu mengakui secara de facto Negara Republik Indonesia dan memberitahu Kementerian Luar Negeri rencana kedatangannya. Peristiwa bias dianggap sebagai sukses pertama dari kampanye Kementerian Luar Negeri.
Wafat
Ahmad Subardjo Djoyoadisuryo meninggal dunia dalam
usia 82 tahun di Rumah Sakit Pertamina, Kebayoran Baru, akibat flu yang
menimbulkan komplikasi. Ia dimakamkan di rumah peristirahatnya di Cipayung,
Bogor. Pemerintah mengangkat almarhum sebagai Pahlawan Nasional pada
tahun 2009.
0 comments: